Ditulis oleh Anggiet
Saya tergelitik untuk memberi komentar soal kans orang Indonesia untuk memperoleh beasiswa di luar negeri. Sebagai bangsa ketiga terbesar di Asia dan nomer 4 di dunia yang tidak putus dirundung bencana dan konflik, Indonesia sangat diperhitungkan di dunia internasional dan percaya atau tidak, cukup ditakuti. Saya perhatikan kuota beasiswa untuk orang Indonesia rasaya terbesar di dunia. Dari Ausaid dapat sekitar 300, stuned juga rasanya sekitar segitu, bandingkan dengan Kamboja misalnya (pas saya lagi tinggal disitu sekarang) yang kuota Ausaid cuma 15) dan Cina yang sampai tahun 2004 cuma dapat jatah 50 (padahal penduduknya 1.3 milyar).
Mahasiswa Indonesia di luar juga prestasinya tidak memalukan. Nyatanya sebagian besar penerima Erasmus Mundus dari Indonesia tidak pulang tapi melanjutkan S3 langsung. Ini bukti pendidikan Indonesia tidak jelek2 amat (meskipun terbatas yang di kota besar). Kalau saya bandingkan dengan pendidikan di Kamboja, China, Thailand, pendidikan dasar kita cukup bersaing (meski terlokalisasi di propinsi dan kota tertentu) dan pendidikan universitas kita cukup baik (meskipun mengalami stagnasi).
Lalu kenapa mahasiswa Indonesia di luar jumlahnya tidak sebanyak China dan India? dan kita biasanya kalah bersaing untuk kompetisi tingkat Internasional Memang kalau sseperti Ausaid dan Stuned yang sudah jatahnya Indonesia gak masalah tapi seperti Erasmus yang berkompetisi internasional kita sering kalah. Saya lihat ada beberapa kendala yang sudah membudaya
1. Mahasiswa Indonesia sering kurang inisiatif dan kurang informasi
Saya amati dari milis beasiswa saja sering ada email misalnya "saya pengen s2 nich bidang A, ada yang punya informasi gak?" atau "bikin motivation letter gimana ya". Saya akan lebih menghargai orang yang menulis email: "saya mau daftar beasiswa A, tapi bingung soal bla bla, mungkin ada yang bisa bantu?" atau "ada yang bisa kasih masukan soal motivation letter yang saya buat". Jadi coba dulu, kalau mentok baru tanya, jangan belum mulai sudah tanya. Perhatikan aturan tiap beasiswa, pastikan semua permintaan diikuti. kalau minta international TOEFL ya lakukan dst.
2. Seringkali terlalu pelit
Memang apply beasiswa tidak murah. Tapi saya selalu melihat beasiswa itu seperti ikan yang mesti dipancing. Kalau mau dapet ikan ya mesti beli kail. Ambil contoh Erasmus. Modal yang saya keluarkan untuk daftar erasmus itu sekitar 200-300$ untuk IELTS test, kirim berkas via DHL transportasi untuk legislasi dst. Tapi dari modal 200-300$ itu saya terima 45,000 Euro dan jalan-jaan ke 12 negara eropa, dapet ijasah, bisa kerja di PBB. Gak rugi khan? Untuk menutup 'kerugian', yang saya lakukan biasanya daftar beasiswa sekalian banyak. Jadi satu ijasah IELTS/TOEFL bisa dipakai untuk daftar 5 beasiswa, bikin aplikasi juga jadi sekalian, copy paste, minta rekomendasi sekalian 1 lusin dst. Kalau daftar banyak, ada yang gagal masih bisa berharap yang lain karena khan beasiswa cuma setahun sekali. Kalau sudah terbiasa daftar beasiswa, terbaca kog pertanyaan interview, bentuk form, kurang lebih sama.
3. Kurang Pede.
Saya sering bersinggungan dengan orang China dan India dan memang kita sering malu-malu dan engga enakan, gak percaya diri. Padahal kalau saya perhatikan teman-teman India saya, mereka cuma pinter ngeles, argumennya sering gak mutu dan memang bahasa inggris mereka jago sich. Kebetulan bos saya juga orang India, orangnya sangat moody, hari ini bilang A besok bilang B, kalau saya lakukan A menurut petunjuk dia yang kemarin dia marah, karena sekarang di otaknya sudah B. Pernah sekali saya marahin balik, menciut kog. Sama dengan temen2 bule. Memang mereka pinter ngomong, tapi lama2 kalau kita perhatikan, argumen mereka sering lemah. kalau bidang saya karena banyak berurusan dengan masalah di Asia dan saya orang Asia, tidak sulit merontokkan argumen mereka karena mereka menganalisa budaya asia dari kacamata orang barat jadi sering gak masuk akal menurut perspeksi mereka.
Saya sangat menikmati mempelajari budaya orang, tinggal di lingkungan budaya yang tidak saya kenal, jadi keluar negeri dan sekolah di luar negeri memang menjadi target hidup, makanya soal beasiswa saya kejar dengan serius. Puji Tuhan dengan background saya sebagai penari tradisional, dosen, peneliti dan karyawan LSM, saya sudah mendapatkan 7 beasiswa, 6 diantaranya studi di luar negeri termasuk Aminef, Ausaid, Erasmus, Ford dan mengunjungi 23 negara. Tidak pernah sekalipun saya keluar negeri keluar uang dari kantong saya sendiri, selalu gratis atau dari uang beasiswa. Jadi buat saya, bayar beberapa ratus $ untuk kirim berkas via DHL atau tes TOEFL sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang saya peroleh dari beasiswa yang saya daftar itu.
International Scholarships
Tuesday, November 6, 2007
Indonesia dan Meraih Beasiswa
Labels:
Article
Posted by Hardhono at 5:56 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment